4 Cara Membaca Pengaruh Faktor Makro terhadap Pergerakan Pasar Crypto

4 Cara Membaca Pengaruh Faktor Makro terhadap Pergerakan Pasar CryptoDulu, crypto sering dianggap “dunia lain” yang tidak terlalu peduli dengan kondisi global. Banyak orang berpikir bahwa harga Bitcoin atau altcoin hanya digerakkan oleh hype, komunitas, atau spekulasi jangka pendek.

Baca Juga : 4 Cara Membeli Altcoin yang Tepat di 2025! Agar Investasi Profit

Namun, seiring berkembangnya ekosistem crypto dan semakin banyaknya investor institusi yang terlibat, arah pergerakan pasar crypto kini semakin erat kaitannya dengan faktor makroekonomi.

Bisa dibilang, kalau kamu ingin jadi trader atau investor yang tahan lama di dunia crypto, tidak cukup hanya paham chart dan indikator teknikal. Kamu juga perlu mengerti bagaimana kondisi makro memengaruhi aliran modal ke aset berisiko. Sebagai seseorang yang sudah lebih dari 10 tahun terjun di trading saham, forex, dan crypto, saya bisa bilang: mengabaikan faktor makro itu sama saja dengan trading tanpa peta.

Lalu, apa saja faktor makro utama yang perlu diperhatikan, dan bagaimana hubungannya dengan pasar crypto? Yuk, kita bahas satu per satu.

1. Likuiditas Global (M2, TGA, DXY)

Bayangkan pasar keuangan sebagai kolam renang. Kalau airnya banyak (likuiditas tinggi), maka semua “perahu” di kolam — saham, obligasi, hingga crypto — bisa ikut mengapung lebih tinggi. Sebaliknya, kalau airnya surut (likuiditas menyusut), perahu-perahu ini pun ikut turun.

  • M2 Money Supply adalah indikator berapa banyak uang beredar di ekonomi. Semakin besar M2, semakin banyak “amunisi” untuk mendorong harga aset berisiko, termasuk crypto.
  • TGA (Treasury General Account) bisa dianalogikan sebagai kas negara. Saat pemerintah menarik dana ke TGA, maka likuiditas di pasar menurun, dan ini sering berdampak bearish pada aset berisiko.
  • DXY (US Dollar Index) adalah ukuran kekuatan dolar AS. Umumnya, ketika dolar menguat (DXY naik), investor cenderung lebih konservatif dan keluar dari aset berisiko. Sebaliknya, dolar yang melemah biasanya memberi napas lega bagi crypto.

Jadi, sebelum masuk posisi, ada baiknya cek dulu: apakah “air” di kolam likuiditas sedang banyak atau justru menyusut?

2. Kebijakan Moneter (QE vs QT)

Kalau ada satu pemain besar yang bisa mengguncang seluruh pasar global, jawabannya jelas: Federal Reserve (The Fed). Bank sentral AS ini punya peran penting dalam menentukan arah likuiditas.

  • Quantitative Easing (QE): saat The Fed mencetak uang baru dan membeli aset obligasi, otomatis uang yang beredar meningkat. Likuiditas longgar ini biasanya mendorong kenaikan harga aset berisiko. Crypto pun ikut kecipratan bullish.
  • Quantitative Tightening (QT): kebalikannya, ketika The Fed menyedot likuiditas dengan cara menjual obligasi atau menaikkan suku bunga, aliran dana ke aset berisiko cenderung berkurang. Dalam kondisi ini, crypto biasanya ikut melemah.

Sebagai trader berpengalaman, saya selalu bilang: jangan hanya lihat grafik BTC/USDT, tapi intip juga kalender ekonomi. Pernyataan Jerome Powell bisa lebih berdampak pada harga Bitcoin daripada satu-dua tweet influencer crypto.

3. Korelasi dengan Aset Mayor Lain

Saat ini, Bitcoin sudah mulai dianggap sebagai “aset finansial serius”. Artinya, pergerakannya tidak lagi liar sendiri seperti dulu. Dalam beberapa tahun terakhir, ada korelasi yang cukup erat antara Bitcoin dengan indeks saham besar seperti S&P 500 dan Nasdaq.

  • Kalau S&P 500 dan Nasdaq naik, peluang Bitcoin ikut naik juga cukup besar.
  • Sebaliknya, kalau indeks saham AS jatuh karena sentimen makro, biasanya Bitcoin pun ikut tertekan.

Menariknya, banyak orang menganggap Bitcoin sebagai “emas digital”. Namun kenyataannya, korelasi Bitcoin dengan gold (emas) saat ini tidak terlalu kuat. Ada periode ketika emas rally, tapi Bitcoin justru sideways atau bahkan turun. Ini menandakan bahwa Bitcoin masih lebih diperlakukan sebagai aset berisiko dibanding safe haven.

Buat investor, memahami korelasi ini penting. Kalau kamu melihat pasar saham global melemah karena data ekonomi buruk, jangan heran kalau Bitcoin ikut terbawa arus.

4. Keadaan Geopolitik Global

Selain faktor moneter dan pasar saham, kondisi geopolitik juga punya pengaruh besar. Perang, konflik perdagangan, tarif impor, hingga resesi global bisa membuat modal kabur dari aset berisiko.

Pasar crypto, karena sifatnya volatil dan relatif baru dibandingkan saham atau obligasi, biasanya jadi salah satu yang paling dulu ditinggalkan investor saat ketidakpastian meningkat.

Tapi ada sisi menariknya juga. Dalam jangka panjang, beberapa konflik geopolitik justru memperkuat narasi Bitcoin sebagai aset alternatif di luar sistem keuangan tradisional. Contoh: di negara-negara dengan inflasi tinggi atau ketidakstabilan politik, adopsi Bitcoin bisa meningkat sebagai bentuk “perlindungan”.

Baca Juga : 4 Strategi Tepat Bagi Investor Saat Crypto Mendekati Puncak Siklus

Kesimpulan

Kalau dianalogikan, faktor makro itu adalah arah angin dan arus laut. Sementara crypto adalah perahu yang kita kendarai. Mau sehebat apa pun skill mengemudinya, kalau kita melawan arus besar, hasilnya jarang maksimal.

Sebagai trader dan investor, kuncinya adalah: jangan hanya fokus ke chart, tapi juga buka mata ke kondisi global. Perhatikan likuiditas, kebijakan moneter, korelasi antar aset, dan kondisi geopolitik. Dengan begitu, kamu bisa mengambil keputusan yang lebih rasional, bukan sekadar karena FOMO atau panik.

Pada akhirnya, membaca faktor makro memang butuh waktu dan pengalaman. Tapi percayalah, semakin kamu terbiasa, semakin jelas pola hubungan antara makro dan pergerakan harga crypto. Dan itu bisa jadi edge besar dalam perjalanan trading maupun investasi kamu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *